Selasa, 12 Juni 2012

Guiding Principle




UNSUR-UNSUR POKOK SPIRITUAL CB DALAM PELAYANAN KESEHATAN
Dalam spiritual CB, bersama Bunda Elisabeth Gruyters, hati kita tersentuh oleh penderitaan dan kesesakan hidup dari banyak orang. Dengan digerakkan oleh keinginan “Buatlah aku cakap dalam pengabdianMu”, kita mewujudkan pengabdian kepada Allah berlandaskan pada delapan unsur pokok yang menjadi prinsip panduan dalam pelayanan kesehatan. Unsur-unsur pokok tersebut adalah sebagai berikut :
Iman yang dalam
Cinta kasih tanpa syarat dan berbalarasa
Hormat terhadap hidup dan martabat manusia
Keberpihakan pada yang miskin, tersisih, berkesesakan hidup, dan menderita karena Ketidak-adilan.
Ketulusan hati
Kerelaan berkorban demi sesama yang dilayani
Ketangguhan dan ketegaran dalam menanggapi tantangan jaman
Makna penderitaan.


1. Iman yang Dalam
Kita percaya bahwa Allah menghendaki agar semua orang mengalami kehidupan secara utuh-penuh/holistik (bdk. Yoh 10:10a). Agar kehendak-Nya ini dapat terwujud, Allah selalu hadir dan melibatkan diri dalam kehidupan kita. Kepercayaan yang sangat mendasar akan campur tangan Allah dalam kehidupan manusia, merupakan ungkapan iman yang kuat dan dalam. Hal ini telah dihayati oleh Bunda Elisabeth yang tercermin dalam ungkapan “Kini di dalam diriku tinggal kepercayaan kuat pada penyelenggaraan Illahi” (EG. 23). Ungkapan ini menyadarkan kita bahwa pada akhirnya manusia hanya dapat bersandar pada kekuatan Allah. Iman semacam ini hendaknya menjadi dasar kekuatan dan harapan dalam menjalankan pelayanan kesehatan.
Berdasarkan kepercayaan itu, kita memiliki daya juang dan pantang menyerah untuk menghadapi kesulitan apapun; artinya kita senantiasa optimis dan berpengharapan dalam melayani kesehatan masyarakat, dan dipersatukan dengan kebijakan Gereja setempat. Iman yang dalam juga ditunjukkan dalam kemauan dan kemampuan kita untuk menerima realitas apa adanya. Komunitas Pelayanan Kesehatan berperanserta secara aktif dalam mengupayakan berkembangnya iman yang kuat dan dalam sesuai dengan kekhasan pelayan kita.


2. Cinta Kasih Tanpa Syarat dan Berbelarasa
Sebagai komunitas Pelayanan Kesehatan kita mengutamakan keselamatan manusia seutuhnya dengan menyalakan api cinta kasih berbelarasa yang menjiwai seluruh pelayanan dan semua kebijakan.  Kita perlu memupuk kemampuan hati untuk ikut merasakan derita dan harapan mereka yang sakit, menderita, dan berkesesakan hidup, beserta keluarganya sebagai ungkapan solidaritas kepada sesama.
Kita mengamalkan cinta kasih tanpa syarat artinya, dalam memberikan pelayanan kita rela dan siap sedia, penuh perhatian dan pengertian, bertenggangrasa, bermurah hati, serta terbuka untuk berdialog.
Kita mengakui perlunya kepiawaian memergunakan ilmu pengetahuan dan profesionalitas. Namun, hal itu saja tidak memadai. Selain kemampuan untuk memergunakan ilmu pengetahuan serta mengembangkan profesionalitas, kita juga perlu memiliki sikap empati kepada mereka yang kita layani sebagai ungkapan berbelarasa.


3. Hormat Terhadap Hidup dan Martabat Manusia
Didasarkan pada martabat manusia yang luhur, hidup manusia sudah semestinya dihormati, dilindungi, dan dipelihara dengan layak sejak konsepsi sampai akhir kehidupan. Hal ini sesuai dengan cita-cita Bunda Elisabeth Gruyters yakni mengembalikan martabat manusia sebagai citra Allah. Oleh karena itu, para pelayan kesehatan bertanggungjawab melindungi kehidupan dan menolak menghentikan kehidupan dengan alasan apapun yang tidak wajar.
Karena rasa hormat terhadap martabat manusia, maka pasien dilayani sebagai subyek dengan mendengarkan harapan dan menanggapi kebutuhannya. Kita ikut bertanggungjawab untuk menumbuhkan semangat hidup dan mengembangkan proses pemandirian pasien. Dengan demikian pasien tidak boleh dimanipulasi baik secara langsung dan tidak langsung, karena pasien adalah anggota Tubuh Yesus Kristus yang menderita (EG. 108).
Kita senantiasa menghadapi hak-hak pasien dan semua yang dilayani. Kita terpanggil untuk menjaga privacy, confidentiality, serta dengan bijaksana menginformasikan hal yang benar kepada pasien dan keluarganya. Di pihak lain kita perlu menyadarkan tanggungjawab pasien atau keluarganya dan semua yang kita layani.


4. Keberpihakan pada yang Miskin, Tersisih, Berkesesakan Hidup, dan Menderita Karena Ketidak-adilan
Bunda Elisabeth mewarisi dan menghayati semangat Yesus yang datang ke dunia dan mewujudkan keberpihakan-Nya pada yang miskin, tersisih, berkesesakan hidup menderita karena Ketidak-adilan. Dalam situasi jamannya, ia menjadi perpanjangan tangan Allah untuk menyalurkan kasih kepada mereka yang menderita. Ia membuka diri karya Allah dalam melayani yang sakit dan malang agar jiwa mereka terselamatkan. Pelayanan kita dalam karya keselamatan selalu berhubungan dengan sesama yang menderita karena Ketidak-adilan. Sesama yang menderita ini hendaknya selalu menjadi subyek layanan. Kita berusaha untuk selalu membuka hati bagi aneka bentuk penderitaan dan kesesakan hidup mereka.
Sesuai dengan hasil kapitel 1999, Kongregasi Suster-suster cintakasih Santo Carolus Borromeus secara khusus menaruh perhatian pada kaum perempuan yang menderita karena Ketidak-adilan, terlebih dalam masyarakat kita yang masih merupakan masyarakat patriarkal. Tak terkecuali di dalam pelayanan kesehatan pun sering kali dijumpai banyak perempuan yang menderita bukan hanya karena sakit secara fisik, melainkan juga menjadi korban kekerasan sebagai akibat dari budaya patriarkal tersebut. Oleh karena itu secara kreatif kita perlu memberikan pelayanan yang menyentuh aspek tersebut.
Agar mereka yang miskin, tersisih, dan menderita karena Ketidak-adilan berani datang, pelayanan kita hendaknya menampakkan adanya sikap ramah, rendah hati, peka, serta mampu mendengarkan. Kita juga berusaha bersikap adil kepada siapa saja yang memerlukan bantuan sesuai dengan kemampuan kita, termasuk dalam menyediakan sarana dan fasilitas. Keberpihakan pada mereka yang miskin, tersisih, berkesesakan hidup, dan menderita karena Ketidak-adilan menjadi dasar usaha kita memanusiakan manusia, memberdayakan, dan akhirnya mereka memperoleh keselamatan.
Dengan melaksanakan pelayanan bagi mereka yang miskin, tersisih, dan menderita kita mewujudkan kehendak Allah untuk menyelamatkan semua orang; sesuai dengan cita-cita Gereja khususnya di Asia, yakni Gereja kaum miskin. Dalam tradisi Kongregasi pun, Suster-suster CB bersemangat melayani orang miskin karena keyakinan bahwa dalam diri mereka Yesus hadir dan dilayani (bdk. EG. 108; Kons. 41).




UPAYA POKOK DEMI PERWUJUDAN SPIRITUALITAS CB DALAM PELAYANAN KESEHATAN
Tugas perutusan, profesionalisme, kharisma, visi, dan misi saling bertemu dalam keterpaduan pelayanan nyata. Kita wujudkan pelayanan itu sebagai peranserta aktif dalam karya Allah yang menyelamatkan manusia. Keterlibatan karya kesehatan dalam perspektif karya Allah dilaksanakan dalam kerangka memelihara, membela, dan meningkatkan mutu kehidupan. Demikianlah kita menjunjung tinggi kehidupan sebagai anugrah Allah, jika di titik yang paling kritis pada mereka yang sakit, lemah, dan menderita. Komitmen kita untuk menghidupi delapan unsur pokok diharapkan nampak perwujudannya sebagai berikut :
1. Upaya Pokok Menghayati “Iman yang Dalam”
a. Mengembangkan sikap penuh syukur dan harapan.
b. Mewujudkan sikap kerendahan hati dengan menyadari kita hanyalah alat di tangan Tuhan.
c. Mengembangkan semua talenta yang ada untuk karya pelayanan kesehatan.
d. Menciptakan semangat rekonsiliasi: damai dengan diri sendiri, sesama, dan Tuhan.
e. Memfasilitasi pelayanan pastoral yang efektif sesuai dengan kebijakan Gereja setempat.
f. Menciptakan pelayanan yang memerhatikan keseimbangan antara kemajuan tekhnologi dan kepercayaan pada penyelenggaraan Tuhan.
g. Mewujudkan kemampuan untuk memaknai penderitaan, sakit, dan kematian.


2. Upaya Pokok Menghayati “Cinta Kasih Tanpa Syarat dan Berbelarasa”
a. Menumbuhkan dan mengembangkan semangat cinta kasih tanpa syarat dan berbelarasa dalam seluruh aspek pelayanan. 
b. Menyediakan fasilitas dan mekanisme untuk terwujudnya sikap-sikap cintakasih tanpa syarat dan berbelarasa (misalnya; kebijakan, reksa rohani, dan pelatihan-pelatihan) yang menunjang pelayanan.
c. Mengupayakan agar mereka yang kita layani dan yang bekerja sama dengan kita dapat merasakan sikap empati dan keramah-tamahan kita (rela, siap sedia, murah hati, penuh perhatian, bertenggang rasa, dan terbuka berdialog).


3. Upaya Pokok Bersikap “Hormat Terhadap Hidup dan Martabat Manusia”
a. Membuat kebijakan kelembagaan yang mendukung penghormatan manusia sejak konsepsi sampai kematian dan menjamin tidak dihentikannya kehidupan.
b. Menyediakan sarana untuk mengkomunikasikan kebijakan lembaga tentang hak dan kewajiban baik kepada mereka yang dilayani, maupun semua yang terlibat dalam pelayanan.
c. Memerhatikan kesejahteraan karyawan sesuai kemampuan lembaga.
d. Menjamin privacy dan confidentiality.
e. Melaksanakan peran advokasi oleh para pelayan kesehatan dan informed consent melalui proses yang benar.
f. Mengembangkan budaya berdialog sebagai ungkapan penghargaan terhadap pribadi yang dilayani.
g. Menciptakan suasana kegembiraan, kedamaian, dan saling menghormati dalam komunitas pelayanan.
h. Menciptakan ruang gerak untuk berkembangnya pemberdayaan dan pemandirian mereka yang dilayani.
i. Memelihara ekosistem dalam lingkungan hidup di sekitar pelayanan kesehatan kita.


4. Upaya Pokok Mewujudkan “Keberpihakan pada Mereka yang Miskin, Tersisih, Berkesesakkan Hidup, dan Menderita Karena Ketidak-adilan”
a. Melaksanakan mekanisme pelayanan yang mengutamakan mereka yang miskin, tersisih, berkesesakkan hidup, dan menderita karena Ketidak-adilan mendapatkan pelayanan yang layak.
b. Mengupayakan keberpihakan pada kaum perempuan yang menderita karena Ketidak-adilan.
c. Memfasilitasi pelayanan kesehatan yang mencakup aspek jasmani, psikologis, sosial, ekonomi, moral, dan spiritual.
d. Menciptakan kebijakan yang mempertimbangkan kebutuhan semua pihak (pengembangan lembaga, kesejahteraan karyawan, dan pasien tidak mampu) dalam pemanfaatan hasil kegiatan operasional.
e. Mengembangkan pelayanan yang menjangkau masyarakat yang luas yang disesuaikan dengan kemampuan institusi.


LANDASAN DOKUMENTER DELAPAN UNSUR POKOK SPIRITUALITAS CB
1. Iman yang Dalam
a. Landasan Biblis
1) “Iman menyembuhkan orang yang menderita sakit” (2Raj 5:1-27; Luk 8:40-56).
2) “Bagi Allah segala sesuatu mungkin” (Mat 19:26).
3) “Iman mendorong kita untuk mencari penyembuhan bagi orang yang sakit (Luk 5:17-25).
4) “Berdoa dengan penuh kepercayaan” (Luk 11:1-13).
5) “… Berbahagialah mereka yang tidak melihat namun percaya” (Yoh 20:29).
6) “Iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yak 2:14-26).


b. Magisterium Gereja
1) “Kepada Allah yang menyampaikan wahyu, manusia wajib menyatakan ketaatan iman (bdk. Rm 16:26; lih. Rm 1:5; 2Kor 10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada  Allah  yang mewahyukan melalui kurnia-kurniaNya.” (Dei Verbum, art 5).
2) “Di sepanjang sejarah banyak orang,… di situ unsur pertama dan hakiki ialah ikatan kudus kemurnian demi kerajaan Surga” (Anjuran apostolic: Vita Consecrata, art. 14, al. 2).
3) “Menghadapi misteri kematian kita tidak berdaya; kepastian-kepastian manusiawi  goyah. Tetapi justru menghadapi saat sekritis itulah iman Kristiani… menjadi sumber keheningan dan damai… apa yang nampaknya tanpa arti menjadi penuh arti dan bernilai. Bila “saat kritis” itu berlangsung dalam hidup manusia, pada saat yang amat  menentukan bagi eksistensinya, kesaksian para pelayan kesehatan akan iman dan harapan mereka akan Kristus mempunyai peranan yang menentukan (Piagam Bagi Pelayan Kesehatan, art. 118).


c. Dokumen Kongregasi CB
1) “Bagiku ini merupakan suatu tanda untuk lebih menaruhkan pengharapanku kepada  Tuhan dan  percaya akan jawaban  surgawi...” (EG. 9.)
2) “… aku menyerahkan semuanya kepada Tuhan dan bertakwa kepada kehendak-Nya yang kudus” (EG. 12)
3) “… langkah girangku bahwa tidak ada uang, sebab harta kekayaan yang kuandalkan untuk memulai karya ini hanyalah Penyelengaraan Ilahi.  Seluruh harapanku berdasarkan ayat pertama Credo : “Aku percaya akan Allah yang Mahakuasa” (EG. 23).
4) “Apa yang dapat kukerjakan ialah meneruskan karya Allah dengan tekun sambil berdoa terus-menerus, dan selalu berusaha melibatkan diri di dalamnya” (EG. 24).
5) “Dengan kepercayaan yang hidup dan cinta yang bernyala-nyala aku berharap bahwa jiwa yang malang ini akan diselamatkan“ (EG. 31).
6) “Kini di dalam diriku tinggal kepercayaan kuat kepada Penyelenggaran Ilahi” (EG. 54).
7) “Harapanku ada pada Tuhan dan tidak seorangpun dapat menggoncangkannya” (EG. 55).
8) “… sebab berkat doa  yang berkanjang dan dengan kepercayaan kepada Allah, segala-galanya dapat diatasi” (EG. 69).
9) “Tetapi hal ini tidak dapat menggoncangkan aku malahan makin meneguhkan aku dalam cinta Allah” (EG. 96).
10) “Aku memuji Tuhan dan bersyukur kepadaNya karena aku menderita sedikit demi cinta kepada Yesus Kristus” (EG. 100).
11) “Karena percaya akan cinta Allah yang berbelas kasih…  kita akan berdoa bersama dengan orang yang dalam kesepian, sakit keras atau dalam sakrat maut” (Konst. 57).




2. Cinta Kasih tanpa Syarat dan  Berbelarasa
a. Landasan Biblis
1) Yesus membangkitkan pemuda yang mati karena tergerak hatiNya oleh belas kasihan (Luk 7:11- 17)
2) Orang Samaria yang baik hati (Luk 10:29-37)
3) Yesus disalib merupakan tanda kasih tanpa syarat (Luk 23:33-43)
4) “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13)


b. Magisterium Gereja
1) “Ia menumbuhkan cinta kasih di antara umat beriman dan mendorong mereka untuk mencintai. Maka bila ada satu anggota yang menderita, atau bila satu anggota dihormati, semua ikut bergembira.” (Lumen Gentium, art 7, al. 3).
2) “Dalam  Tarekat-tarekat itu hakekat hidup religius sendiri mencakup kegiatan merasul dan beramal  kasih, sebagai pelayan suci dan karya cintakasih khusus, yang oleh Gereja dipercayakan kepada mereka dan harus dilaksanakan atas nama Gereja” (Perfectae Caritatis,  art. 8).
3) “Kehadiran umat beriman kristiani di tengah golongan-golongan manusia  hendaknya dijiwai oleh cintakasih  Allah terhadap kita,  sebab Allah menghendaki supaya kita saling mengasihi dengan cintakasih yang sama.  Sesungguhnya  cinta kasih kristiani  ditujukan kepada semua orang tanpa membeda-bedakan suku  bangsa, keadaan sosial atau agama,  cintakasih tidak mengharapkan keuntungan atau ungkapan kasih. Sebab Allah mengasihi kita dengan cinta yang sukarela, begitu pula hendaknya kaum beriman dengan kasih mereka memerhatikan sepenuhnya manusia sendiri, dalam gerak yang sama seperti Allah mencari manusia” (Ad Gentes, art. 12, al.1).
4) “Melayani kaum miskin berarti mewartakan injil, dan sekaligus merupakan materai otentisitas Injil dan katalisator bagi pertobatan terus menerus dalam hidup bakti. Sebab seperti dikatakan oleh St. Gregorius Agung: “Bila cintakasih merunduk penuh kasih untuk menyelenggarakan keperluan-keperluan sesama, bahkan yang sekecil-kecil apa pun, mendadak saja cintakasih itu menanjak sampai puncak-puncak yang tertinggi. Dan bila dengan ramah hati cintakasih membungkuk untuk melayani keperluan-keperluan yang paling mendesak, dengan  kekuatan besar cintakasih itu akan menjulang lagi menuju puncak-puncaknya“ (Anjuran Apostolik : Vita Consecrata, art. 82).
5) Pesan Paus untuk reksa kesehatan dalam Gereja di Asia (Art. 36, hlm 93).
6) “Bukan cermatnya apa yang dikatakan yang penting, melainkan hubungan solidaritas dengan pasien. … Pasien tidak seorang diri dengan penyakitnya: ia sungguh merasa dimengerti dan ia berada dalam damai dengan dirinya serta dengan sesama. Ia sendiri merasa [sebagai] manusia…” (Piagam Bagi Pelayan Kesehatan, art. 127).
7) “Cinta kasih berarti kehadiran yang memberi dan menerima, yang membentuk bersama dengan orang yang mau meninggal persekutuan yang lahir dari perhatian, pengertian, kepedulian, kesabaran, saling berbagi, dan ingkar diri. … Cintakasih terhadap orang yang akan meninggal – “si miskin” yang sedang mengikhlaskan segala harta dunia ini – merupakan ungkapan istimewa cintakasih akan Allah dalam diri sesama” (Piagam Bagi Pelayan Kesehatan, art.132).


c. Dokumen Kongregasi CB
1) “Hanya Tuhan yang tahu betapa sering aku berdoa untuk jiwa yang malang ini, dan betapa sering aku menyerahkan dia kepada Bapa surgawi, di dalam luka-luka suci yang diderita Yesus” (EG. 28).
2) “Aku berjanji akan selalu mendoakan, betapapun banyaknya, sampai ia dengan selamat masuk surga” (EG. 29).
3) “Akan tetapi justru pada saat itu aku merasa hatiku bernyala-nyala untuk mengembalikan jiwa ini kepada Tuhan” (EG. 31).
4) “… aku memandang salib dengan hati bernyala karena kasihku kepada Tuhan, aku belajar (berdoa) dengan tergagap-gagap mengucapkan syair ini: ‘O… Pencinta hatiku yang manis, berilah aku bagian dalam duka-Mu, semoga hatiku bernyala-nyala karena cinta, buatlah aku cakap dalam pengabdian-Mu, tetapi tidaklah bermanfaat bagiku saja pun juga bagi keselamatan sesama manusia” (EG. 39).
5) “Doa ini lahir dalam renunganku di muka salib. Maka doa ini tetap kudoakan di kapel setiap hari bersama dengan komunitas kami selama enam belas tahun, karena memang keselamatan sesama sangat kupentingkan” (EG. 40).
6) “Sering dalam angan-anganku, aku tinggal bersama kedua rasul tersebut, lebih-lebih apabila api cinta Ilahi mulai berkobar dalam hatiku, maka pada saat seperti itu timbullah hasrat untuk membalas cintaNya dengan cintaku. Maka tidak ada matiraga pertobatan yang terlalu sukar” (EG. 96).
7) “Allah Yang baik itu rupanya tidak mengingat lagi akan kelakuan yang tidak setia dimasa lampau, yang menyebabkan aku sering membangkitkan murka Allah” (EG. 98).
8) “Kujawab kepadanya dalam batinku bahwa ini hanya kulakukan demi cinta Allah… dan demi cinta Yesus aku rela diomong-omongkan serta dikoyak-koyak oleh kebencian, digiling laksana gandum, asal aku dapat menghibur dan menolong para penderita yang malang itu, maka aku akan cukup kaya dengan rahmat dan cinta Allah” (EG. 117).
9) “Dalam solidaritas dengan mereka kita mau menghidupkan harapan dan kepercayaan sebagai usaha untuk menampakkan belas kasih Kristus” (Konst. 43).
10) “… tenggelam dalam kenyataan bahwa kita dicintai Allah dengan hangat dan sangat dalam diri Yesus Kristus” (Kapitel Umum 1999, hlm. 17, al. 3).
11) “Roh inilah yang menggerakan Bunda Elisabeth: kekuatan cinta tanpa syarat dan berbela rasa dari Yesus Kristus Yang Tersalib. Inilah yang mempersatukan kita semua dalam segala usaha kita, baik dalam kehidupan berkomunitas maupun dalam karya kerasulan” (Kapitel Umum 1999, hlm. 23, al. 1).


3. Hormat Terhadap Hidup dan Martabat Manusia
a. Landasan Biblis 
1) “ Manusia diciptakan sesuai citra Allah ” (Kej 1:26-28).
2) “ Yesus menyembuhkan pada hari sabat ” (Mat 12:12; LuK 6:6-11).
3) “ Cinta pada Tuhan tampak dalam cinta kepada sesama ” (Mat 25:31-46).
4) “ Yesus mengesampingkan larangan bekerja pada hari sabat ” (Mrk 2:23-28).


b. Magisterium Gereja
1) “Dengan berani mereka mewartakan kepada semua orang rencana Allah penyelamat,” yang menghendaki semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran“ (I Tim 2:4 ). Tetapi sekaligus para murid Tuhan menghormati mereka yang lemah, juga bila sedang sesat; dan dengan demikian mereka menunjukkan, bagaimana” setiap orang diantara kita akan memberi pertanggungjawaban tentang dirinya kepada Allah” (Rm 14:12) (23), dan sejauh itu wajib menganut suara hatinya sendiri” (Dignitatis Humanae, art. 11, al. 2).
2) Manusia diciptakan sesuai citra Allah (Gaudium et Spes, art. 12).
3) “Konsili menekankan sikap hormat terhadap manusia sehingga setiap orang wajib memandang sesamanya, tak seorangpun terkecualikan, sebagai ‘dirinya yang lain” (Gaudium et Spes, Art. 27).
4) “Martabat Unik Manusia ” (Piagam Bagi Pelayan Kesehatan. Art. 38).
5) “Hidup Manusia dari Allah ” ( Evangelium Vitae, art. 39).
6) “Membela dan Memupuk Hidup, menghormati, dan Mencintainya: itulah tugas yang oleh Allah dipercayakan kepada setiap orang” (Evangelium Vitae. Art. 42). 


c. Dokumen Kongregasi CB
1) “Isterinya lumpuh selama empat puluh tahun. Aku beruntung dapat merawat ibu ini selama tujuh tahun, lebih-lebih pada akhir hidupnya” (EG. 27).
2) “… aku mengantar lima suster ke Calvarieberg untuk merawat dan memberikan hiburan rohani serta jasmani kepada anggota tubuh Yesus Kristus yang menderita disana” (EG. 108).
3) “… agar kami boleh mengurus dan melindungi para penderita Calvariberg yang malang itu, ” berdasarkan… bagi keselamatan jiwa para penderita” (EG. 11).
4) “… aku telah lama berharap agar para suster kami diperkenankan merawat para penderita ini di Calverieberg” (EG. 115).
5) “Tetapi Suster-suster yang baik itu puas karena kini mereka mendapat kesempatan merawat dan menjaga para penderita siang dan malam demi keselamatan jiwa mereka” (EG. 120).
6) “…, agar para penderita sakit jiwa tidak lagi terlantar karena kurangnya perawatan” (EG. 134).
7) “Dengan cara ini kita turut serta memperjuangkan kehidupan yang sesuai dengan martabat manusia…” (Konst., 43).


4. Keberpihakan pada yang Miskin, Tersisih, Berkesesakan Hidup, dan Menderita Karena Ketidak-adilan
a. Landasan Bilblis 
1) “…… segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang saudara-Ku yang paling hina ini kamu melakukan untuk Aku” (Mat 25:35-46).
2) “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku untuk menyampaikan Kabar Baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk 4:18- 19).
3) “Bukan orang sehat memerlukan tabib, tetapi orang sakit” ( Luk 5: 31).
4) “Perempuan yang bungkuk punggungnya selama 18 tahun, dan disembuhkan pada hari sabat, penyembuhan ganda: penyembuhan dari penindasan akibat fisik dan dosa, serta penyembuhan dari sistem yang menekan yang membuat perempuan itu tetap bungkuk” (Luk 13:10-17).
5) “Yesus menyebuhkan orang buta yang miskin” (Luk 18:35).
6) “Yesus datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk 19:10).
7) “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibr 11:1-40).


b. Magisterium Gereja 
1) “… Gereja melimpahkan cintakasihnya kepada semua orang yang terkena oleh kelemahan manusiawi. Bahkan dalam mereka yang miskin dan menderita Gereja mengenali wajah Pendirinya yang miskin dan menderita, berusaha meringankan kemelaratan mereka, dan bermaksud melayani Kristus dalam diri mereka” (Lumen Gentium, art. 8, al. 10).
2) “Kegembiraan dan harapan, duka, dan kecemasan orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (Gaudium et Spes, art. 1).
3) “Martabat kemiskinan, bahwa Allah merangkul orang-orang rendahan yang tertindas” (Rerum Novarum. Art. 23).
4) “Kami dengarkan jeritan mereka yang menderita akibat kekerasan serta ditindas sistem-sistem dan struktur-struktur yang tidak adil. Kami dengar pula tantangan dunia, yang karna kejahatannya melawan Rencana Penciptanya. Kami salurkan kesadaran kami akan panggilan Gereja untuk hadir ditengah dunia dengan menyiarkan warta gembira kepada kaum miskin, kebebasan kepada kaum tertindas, dan kegembiraan kepada mereka yang berduka cita. Harapan-harapan dan kekuatan-kekuatan yang sedang menggerakkan dunia secara mendasar sekali tidak asing bagi dinamisme Injil, yang dengan kuasa Roh Kudus membebaskan manusia dari dosa pribadi beserta konsekuensi-konsekuensi dalam kehidupan sosial” (Convenientes ex Universo, art. 5). “Allah pembela Kaum Miskin” (Convenientes ex Universo, art. 29 & 30).
5) “Kesaksian Gereja akan kemiskinan” (Convenientes ex Universo, art. 47) .
6) “Kehadiran Gereja ditengah Kaum Miskin “ (Convenientes ex Universo, art. 74-77).
7) “Mengutamakan Cintakasih akan Rakyat Miskin”. (Gereja di Asia art. 34).


c. Dokumen Kongregasi CB
1) “Waktu itu kami mulai menerima anak-anak miskin, dengan maksud membangun dasar baik dalam batin mereka,… serta memberikan dorongan kearah semangat hidup yang suci” (EG. 51).
2) “… Aku mengantar lima suster ke Calverieberg untuk merawat dan memberikan hiburan rohani serta jasmani kepada anggota tubuh Yesus Kristus yang menderita disana” (EG. 108).
3) “Maka kami menjadi berani lagi dan berdoa dengan jumlah suster kami yang sedikit agar kami boleh mengurus dan melindungi para penderita ‘calvarie’ yang malang itu… lebih-lebih bagi keselamatan jiwa yang menderita” (EG. 111).
4) “… sejak aku masih berada di dunia luar… aku pergi kepada orang-orang yang malang (di Calvarieberg) itu, dan dalam kesibukan-kesibukan di rumah, aku masih teringat-ingat saja akan orang-orang yang malang itu, dan mereka senantiasa terbayang dalam angan-anganku” (bdk. EG. 113, 115, 109, 127).
5) “… kerasulan kita bersumber pada kesatuan kita yang akrab dengan Kristus yang hendak kita layani dalam sesama yang menderita dan mengalami kesesakan hidup” (Konst, 41).
6) “Sesuai dengan semangat Pendiri, kita ingin melibatkan diri demi kepentingan mereka yang miskin, lemah, dan menderita akibat Ketidak-adilan serta penindasan” (Konst., 43).
7) “Cinta kepada kaum miskin merupakan inti Kharisma kita. Bagi kita, putri-putri bunda Elisabeth, keterlibatan dengan kaum miskin, tersisih, dan menderita yang ada ditengah kita adalah hidup kita. Kita berada diambang kematian jika kita kehilangan keterlibatan ini” (Kapitel Umum 1999, hlm. 19 al.1).
8) “Kita belajar dari Yesus, sikap penuh perhatian, sikap mendengarkan dan menjalin relasi. Sikap-sikap ini akan membuat kita mampu mengarahkan diri untuk memelihara kehidupan dan mendukung pembebasan dari penindasan, memerhatikan orang-orang yang serba kekurangan dan perempuan yang tertindas” (Kapitel Umum, 1999 hal. 30, al. 4). 

sumber : Borromeus, suster-suster. 2006. Guiding Principles Spiritualitas CB Pelayanan Kesehatan. Yogyakart

Tidak ada komentar:

Posting Komentar