Kamis, 07 Juni 2012

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KEGAWATAN SALURAN CERNA : OBSTRUKSI USUS


ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KEGAWATAN SALURAN CERNA : OBSTRUKSI USUS


A. PENGERTIAN
Obstruksi usus adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang traktus intestinal (Nettina, 2001). Obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang menyebabkan terhambatnya aliran isi usus ke depan tetapi peristaltiknya normal (Reeves, 2001). Obstruksi usus merupakan suatu blok saluran usus yang menghambat pasase cairan, flatus dan makanan dapat secara mekanis atau fungsional (Tucker, 1998).
Obstruksi usus dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk fekal impaction, hernia, pelekatan, tumor, ileus paralitik, intususepsi, enteritis, volvulus, batu empedu, abses, atau hematoma. Obstruksi mekanik primer atau obstruksi sekunder dapat disebabkan oleh inflamasi atau gangguan sistem nervus. Komplikasi segera yang dapat terjadi dari obstruksi usus adalah dehidrasi. Potensi komplikasi lain adalah perforasi usus, dan infeksi. (Lorenne, 2005)


B. ETIOLOGI
1. Mekanis 
Adhesi/perlengketan pascabedah (90% dari obstruksi mekanik)
Karsinoma
Volvulus
Intususepsi
Obstipasi
Polip
Striktur
2. Fungsional (non mekanik)
Ileus paralitik
Lesi medula spinalis
Enteritis regional
Ketidakseimbangan elektrolit
Uremia


C. JENIS-JENIS OBSTRUKSI
Terdapat 2 jenis obstruksi :
1. Obstruksi paralitik (ileus paralitik)
Peristaltik usus dihambat sebagian akibat pengaruh toksin atau trauma yang mempengaruhi kontrol otonom pergerakan usus. Peristaltik tidak efektif, suplai darah tidak terganggu dan kondisi tersebut hilang secara spontan setelah 2 sampai 3 hari.
2. Obstruksi mekanik
Terdapat obstruksi intralumen atau obstruksi mural oleh tekanan ekstrinsik. Obstruksi mekanik digolongkan sebagai obstruksi mekanik simpleks (satu tempat obstruksi) dan obstruksi lengkung tertutup ( paling sedikit 2 obstruksi). Karena lengkung tertutup tidak dapat didekompresi, tekanan intralumen meningkat dengan cepat, mengakibatkan penekanan pebuluh darah, iskemia dan infark(strangulasi). Sehingga menimbulkan obstruksi strangulata yang disebabkan obstruksi mekanik yang berkepanjangan. Obstruksi ini tidak mengganggu suplai darah, menyebabkan gangren dinding usus.


D. PATOFISIOLOGI 
Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang apakah obstruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utama adalah obstruksi paralitik di mana peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanik peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang. Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus adalah lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas (70% dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intralumen, yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen ke darah. Bila terjadi obstruksi maka bagian proksimal dari usus mengalami distensi dan berisi gas, cairan dan elektrolit. Oleh karena sekitar 8 liter cairan diekskresikan ke dalam saluran cerna setiap hari ke sepuluh. Tidak adanya absorpsi dapat mengakibatkan penimbunan intralumen dengan cepat.  Awalnya, peristaltik pada bagian proksimal usus meningkat untuk melawan adanya hambatan. Peristaltik yang terus berlanjut menyebabkan aktivitasnya pecah, dimana frekuensinya tergantung pada lokasi obstruksi. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan ini adalah penyempitan ruang cairan ekstrasel yang mengakibatkan syok-hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan dan asidosis metabolik. 
Bila obstruksi terus berlanjut dan terjadi peningkatan tekanan intraluminal, maka bagian proksimal dari usus tidak akan berkontraksi dengan baik  dan bising usus menjadi tidak teratur dan hilang. Peningkatan tekanan intraluminal dan adanya distensi menyebabkan gangguan vaskuler terutama stasis vena. Efek lokal peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorpsi toksin-toksin bakteri ke dalam rongga peritoneum dan sirkulasi sistemik untuk menyebabkan bakteriemia. Dinding usus menjadi edema dan terjadi translokasi bakteri ke pembuluh darah. Produksi toksin yang disebabkan oleh adanya translokasi bakteri menyebabkan timbulnya gejala sistemik. Efek lokal peregangan usus akibat edema usus adalah anoksia, iskemik pada jaringan yang terlokalisis, nekrosis disertai absorbsi toksin-toksin bakteri kedalam rongga peritonium dan sirkulasi sistemik. 
Pada obstruksi mekanik sederhana, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan vaskuler dan neurologik. Makanan dan cairan tertelan, sekresi usus dan udara akan berkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian proksimal dari usus mengalami distensi dan bagian distalnya kolaps. Fungsi sekresi dan absorbsi membran mukosa usus menurun dan dinding usus menjadi edema dan kongesti. Distensi intestinal yang berat dengan sendirinya secara terus-menerus dan progresif akan menggangu peristaltik dan fungsi sekresi mukosa serta meningkatkan resiko terjadinya dehidrasi, iskemik,nekrosis, perforasi, peritonitis dan kematian. 


E. MANIFESTASI KLINIK OBSTRUKSI USUS
1. Obstruksi Usus Halus
a. Gejala awal biasanya nyeri abdomen sekitar umbilicus atau bagian epigastrium yang cenderung bertambah berat sejalan dengan beratnya obstruksi dan bersifat intermitten. Jika obstruksi terletak di bagian tengah atau letak tinggi dari usus halus maka nyeri bersifat konstan.
b. Klien dapat mengeluarkan darah dan mucus, tetapi bukan materi fekal dan tidak terdapat flatus.
c. Umumnya gejala obstruksi usus berupa konstipasi, yang berakhir pada distensi abdomen, tetapi pada klien dengan obstruksi parsial bias mengalami diare.
d. Pada obstruksi komplet, gelombang peristaltic pada awalnya menjadi sangat keras dan akhirnya berbalik arah dan isi usus terdorong kea rah mulut.
e. Apabila obstruksi terjadi pada ileum maka muntah fekal dapat terjadi. Semakin kebawah obstruksi dibawah area gastrointestinal yang terjadi, semakin jelas adanya distensi abdomen.
f. Jika obstruksi usus berlanjut terus dan tidak diatasi maka akan terjadi shock hipovolemia akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma, dengan manifestasi klinis takikardi dan hipotensi. Suhu tubuh biasanya normal tapi kadang-kandang dapat meningkat. Demam menunjukkan obstruksi strangulate.
g. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen tampak distensi dan peristaltic meningkat. Pada tahap lanjut dimana obstrusi terus berlanjut, peristaltic akan menghilang dan melemah. Adanya feces bercampur darah pada pemeriksaan rectal toucher dapat dicurigai adanya keganasan dan intususepsi.


2. Obstruksi Usus Besar
a. Nyeri perut yang bersifat kolik dalam kualitas yang sama dengan obstruksi pada usus halus tetapi intensitasnya jauh lebih rendah.
b. Muntah muncul terakhir terutama bila katup ileosekal kompeten. Pada klien dengan obstruksi di sigmoid dan rectum, konstipasi dapat menjadi gejala satu-satunya dalam satu hari.
c. Akhirnya abdomen menjadi sangat distensi, loop dari usus besar menjadi dapat dilihat dari luar melalui dinding abdomen.
d. Klien mengalami kram akibat nyeri abdomen bawah.


2.1. Pemeriksaan Diagnostik Pada Obstruksi Usus Halus
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pada tahap awal ditemukan hasil laboratorium yang sanagt normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukosiosis, dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amylase sering didapatkan. Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi, tetapi hanya terjadi pada 38% sampai 50% obstruksi strangulate dibandingkan 27%- 44% pada obstruksi non strangulate. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin terganggu, dengan alkalosis metabolic bila muntah berat, dan metabolic asidosis bila ada tanda-tanda shock, dehidrasi dan ketosis.


2. Pemeriksaan Foto Polos Abdomen
Pada pemeriksaan ini dapat memperlihatkan dilatasi lengkung usus halus disertai adanya batas anatara air dan udara atau gas yang membentuk pola bagaikan tangga, terutama pada obstruksi bagian distal. Foto polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus halus, sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon. Pada kolon bias saja tidak Nampak gas. Jika terjadi stangulasi dan nekrosis maka akan terlihat gambaran berupa hilangnya mukosa yang regular dan adanya gas dalam dinding usus. Udara bebas pada foto toraks tegak menunjukkan adanya perforasi usus. Penggunaan kontras tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan peritonitis akaibat adanya perforasi.


3. Pemeriksaan CT-Scan
Pemeriksaan ini dikerjakan jika secara klinis dan foto polos abdomen dicurigai adanya strangulasi. CT-Scan akan menunjukkan secara lebih teliti adanya kelainan pada dinding usus, kelainan pada mesenterikus, dan peritoneum. CT-Scan harus dilakukan dengan memasukkan zat kontras kedalam pembuluh darah. Pada pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi.


4. Pemeriksaan Radiologi dengan Barium Enema
Pemeriksaan ini mempunyai suatu peran terbatas pada klien dengan obstruksi usus halus. Pengujian Enema Barium terutama sekali bermanfaat jika suatu obstruksi letak rendah yang tidak dapat pada pemeriksaan foto polos abdomen. Pada anak-anak dengan intussuscepsi, pemeriksaan enema barium tidaklah hanya sebagai diagnostic tetapi memungkinkan juga sebagai terapi.


5. Pemeriksaan USG
Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyakit dari obstruksi


6. Pemeriksaan MRI
Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi iskemia mesenterikus kronis.


7. Pemeriksaan Angiografi
Angiografi mesenterika superior telah digunakan untuk mendiagnosis adanya herniasi internal, intususepsi, vovulus, malrotation dan adhesi.


F. PENGKAJIAN
1. Umum :
Anoreksia dan malaise, demam, takikardia, diaforesis, pucat, kekakuan abdomen, kegagalan untuk mengeluarkan feses atau flatus secara rektal, peningkatan bising usus (awal obstruksi), penurunan bising usus (lanjut), retensi perkemihan dan leukositosis, mual dan muntah (materi fekal).
2. Khusus :
a. Usus halus 
Berat, nyeri abdomen seperti kram, peningkatan distensi
Distensi ringan
Mual
Muntah : pada awal mengandung makanan tak dicerna dan kim; selanjutnya muntah air dan mengandung empedu, hitam dan fekal
Dehidrasi
b. Usus besar
Ketidaknyamana abdominal ringan
Distensi berat
Muntah fekal laten
Dehidrasi laten : asidosis jarang
G. PENATALAKSANAAN MEDIS/BEDAH
1. Rehidrasi IV dengan ringer laktat atau normal saline
2. Terapi Na+, K+, komponen darah
3. Nasogastrik tube untuk suction intermiten
4. Pertahankan NPO status
5. Antibiotik, Implementasikan pengobatan untuk syok dan peritonitis.
6. Kateter urine
7. Rektal tube
8. Pembedahan, reseksi usus dengan anastomosis dari ujung ke ujung.
9. Dekstrosa dan air untuk memperbaiki kekurangan cairan intraseluler
10. Dekompresi selang nasoenteral yang panjang dari proksimal usus ke area penyumbatan; selang dapat dimasukkan dengan lebih efektif dengan pasien berbaring miring ke kanan.


Edukasi untuk keluarga/ pasien :
- Diet tinggi serta dengan air yang cukup
- Perhatikan infeksi setelah proses pembedahan

H. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI
Diagnose Keperawatan
Gangguan rasa nyaman; nyeri berhubungan dengan proses obstruksi atau malfungsi gastric atau selang drainase usus
Tujuan :
Meningkatkan kenyamanan klien atau nyeri teratasi.
Criteria hasil :
a. Klien melaporkan nyeri berkurang atau hilang.
b. Klien tampak rileks
c. Klien dapat istirahat dan tidur cukup.
d. Skala nyeri  0-2
intervensi :
1. Kaji karakteristik nyeri, durasi, frekuensi, dan skala nyeri (0-10)
2. Ajarkan tehnik distraksi dan relaksasi pada klien.
3. Lakukan masa sepunggung klien, jika nyeri timbul
4. Berikan analgesic dan antiemetic sesuai program medic
5. Pertahankan sambungan pada penghisap intermiten rendah atau sesuai progarm
6. Irigasi selang dengan salin normal 30 ml sesuai program
7. Pertahankan selang gastric tepat posisinya dalam lambung dengan plester
8. Hindari oklusi dari lubang sisi selang penghisap
9. Masukkan selang usus dengan perlahan sampai mencapai lokasi yang diinginkan
10. Ubah posisi tidur klien; miring kanan, telentang, miring kiri
11. Pertahankan kepala tempat tidur 30-45 derajat sesuai program
12. Anjurkan klien untuk mengubah posisi tidur setiap 2 jam sesuai indikasi
13. Berikan perawatan mulut :menyikat gigi, mencuci mulut, dan berikan pelumas mulut dengan interval sering
14. Lakukan perawatan cuping hidung yang terpasang selang dan berikan pelumas larut air sesuai program
rasional :
1. Dasar untuk melakukan intervensi keperawatan
2. Tehnik tersebut dapat mengalihkan rasa nyeri klien
3. Masase dapat merangsang pengeluaran endofin yang dapat mengurangi rasa nyeri
4. Menghilangkan rasa nyeri dan menghilangkan mual
5. Sebagai pertahanan kepatenan dan fungsi yang tepat dari selang gastric atau usus.
6. Menghilangkan sumbatan pada selang, sehingga drainase lancer.
7. Pada posisi selang yang tepat dapat menyebabkan distensi abdomen yang menyebabkan nyeri
8. Mempertahankan kepatenan selang gastric atau usus, sehingga dapat menghilangkan obstruksi.
9. Posisi selang yang tepat dapat mengurangi nyeri.
10. Dapat memudahkan pada selang gastric atau usus.
11. Meningkatkan kenyamanan dan meningkatkan ventilasi paru.
12. Perubahan posisi dapat meningkatkan peristaltic usus.
13. Perawatan mulut yang sering menjaga kelembapan mukosa mulut dan meningkatkan kenyamanan faring.
14. Untuk mencegah iritasi dan memberikan kenyamanan pada klien. 


Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah dan anoreksia.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x24 jam diharapkan nutrisi dapat terpenuhi.
Kriteria hasil :
Mual dan muntah hilang, nafsu makan bertambah, makan habis satu porsi.
intervensi :
- Kaji keluhan mual, sakit menelan dan muntah
- Kolaborasi pemberian obat antiemetik.
- Untuk menilai keluhan yang ada yang dapat mengganggu pemenuhan nutrisi.
- Membantu mengurangi rasa mual dan muntah.


Resiko tinggi terjadinya kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan akibat obstruksi dan muntah tahap lanjut dan penurunan masukan akibat pembatasan cairan
Tujuan: tidak terjadi kekurangan volume cairan.
Kriteria hasil: 
1. Turgor kulit baik
2. Membran mukosa lembab
3. Pengeluaran urin 30ml/jam
4. Klien tidak mengeluh haus 
5. TTV dalam batas normal
intervensi :
1. kaji tingkat kekurangan cairan: turgor kulit, membran mukosa, mengeluh haus.
2. Observasi tanda-tanda vital.
3. Monitor intake dan output cairan selama 8jam
4. Timbang berat badan klien setiap hari
5. Catat jumlah dan karakter aspirasi gastrointestinal setiap hari
6. Siapkan spesimen untuk pemeriksaan cairan aspirasi gastrointestinal sesuai program
7. Monitor TTV setiap 8jam
8. Ukur lingkar abdomen setiap har
9. Berikan cairan intravena sesuai program medik 
rasional :
1. penyimpangan dari hasil pengkajian merupakan indikator kekurangan cairan
2. merupakan acuan untuk mengetahui penyimpangan dari keadaan normalnya.
3. mengidentifikasi kekurangan cairan dan untuk menentukan jumlah koreksi cairan
4. BB yang turun derastis merupakan suatu tanda kekurangan cairan dalam jumlah besar
5. Indikator kekurangan cairan
6. Untuk mengetahui kehilangan elektrolit dan Ph cairan gastrointestinal
7. Perubahan TTV merupakan indikasi kekurangan cairan
8. Evaluasi kemungkinan terjadinya kelebihan cairan
9. Untuk pemenuhan kebutuhan cairan



DAFTAR PUSTAKA


Alexander, Raymond H. Advanced Trauma Life Support Course for Physicians. 
Aru W, Sudoyo, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.5 Jilid 2. Jakarta : InternalPublishing
Brunner, Suddarth. 2006. Keperawatan MedikalBedah volume 2. Jakarta : EGC
Corwin, Elisabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Gallo, Hudak. 2010. Keperawatan Kritis : Pendekatan Holistik Edisi 6 Volume 2. Jakarta : EGC
Hadi, Sujono. 2002. Gastroentrologi cet 2. Bandung : PT. Alumni 
Kidd, Pamela. 2011. Pedoman Keperawatan Emergensi. Jakarta : EGC.
Krisanty, Paulina. 2009. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat. Jakarta : EGC.
Newberry, Lorene. 2005. Sheehy’s Manual of Emergency Care ed.6. Oregon : Elsivier Mosby.
Smeltzer, Suzanne C. 2001Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC.
Suratun. 2010. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Gastrointestinal cet.1. Jakarta : Trans Info Media.
Wilson, Iorraine dan  Sylvia A. Prince. 2006. Patpfisiologi Volume 1 Edisi 6. Jakarta : EGC


Tidak ada komentar:

Posting Komentar